Tiga Sikap Manusia terhadap Alam

Sebenarnya kalau kita mau jujur Indonesia adalah tanah yang subur dengan hamparan sawah yang memakmurkan para petani, hutan rimba dan gunung-gunung yang menyediakan banyak stok air, deretan laut-laut dari sabang  sampai meroke yang kaya dengan hasil dalam lautnya dan masih banyak lagi kekayaan Indonesia dari alamnya. Kali ini saya berbagi lagi catatan Fajarbaru di Kompasiana tentang sikap manusia terhadap alam, yang sebelumnya catatannya yang sanggat menarik yaitu Alam memberi semuanya kepada manusia. Ada macam-macam sikap manusia di hadapan alam. Paling kurang bisa dikelompokkan dalam tiga sikap utama yaitu:
  • Pertama, sikap melebih-lebihkan atau mendewakan alam (overestimate). Sikap ini terutama tampak dalam masyarakat tradisional atau pejuang ekologi ekstrim yang marak belakangan ini, seperti para deep ecology, sebuah gerakan ekologi radikal (ecologism). Gerakan idiologi ekologi ini ingin hidup selaras dengan alam dalam segala-galanya. Sikap ini mengantar pada kosmosentrisme dan kultus berlebihan terhadap ala. Alam dipandang lebih besar dari manusia dan membahayakan manusia. Manusia harus takut kepada alam dan tidak mempunyai tempat di alam. Sikap ini bisa membuat manusia jatuh dalam irasionalisme. Siapakah yang menilai dan bersahabat dengan alam kalau bukan manusia?
  • Kedua, sebagai ekstrim kiri dari sikap pertama adalah sikap merendahkan alam (underestimate). Alam dilihat sebagai objek semata yang bebas dieksplorasi dan diekspoitasi untuk pemuasan kebutuhan manusia. Alam dijadikan sapi perah bagi manusia. Kecendrungan pandangan ini tampak dalam mentalitas manusia modern yang melihat dirinya sebagai pusat alam semesta (antroprosentrisme-materialisme-historisisme). Dalam sikap ini terjadilah fenomena sekularisasi, desakralisasi, dan demitologisasi terhadap alam semesta.
  • Ketiga, sikap harmonis dan dialogis yang merupakan jalan tengah emas atas dua ekstrim sikap di atas sebagai prinsip ekologi baru. Sikap ini melihat alam sebagi saudara, saudari, sahabat, ibu, dan rumah di mana manusia hidup dan berinteraksi. Alam tetap boleh digunakan untuk keperluan manusia tetapi tidak berlebihan melainkan secukupnya. Karena alam adalah bagian dari inti diri manusia. Merusak alam berarti merusak diri sendiri. Ini adalah sikap mencintai sesama ciptaan seperti mencintai diri kita sendiri. Meluka alam berarti melukai diri kita sendiri. Alam sakit, manusia pun akan sakit. Alam menderita, manusiapun akan menderita.

Kerusakan ekologi merupakan akibat dari sikap yang kedua yang terlalu merendahkan alam. Kita bisa mencatat aneka kerusakan ekologi dewasa ini oleh karena sikap manusia yang kedua misalnya: pencemaran tanah, air, udara dan bunyi, penggudulan hutan, peningkatan suhu global, erosi, banjir; pertambangan yang merusak perut bumi, tanah longsor, kekeringan atau kebakaran hutan, abrasi di pantai, menipisnya lapisan ozon akibat efek rumah kaca, bermunculan aneka penyakit aneh akibat daya dukung lingkungan yang kian buruk, kelaparan panjang akibat kurang persedian makanan di alam bagi segenap makhluk hidup dan lain-lain.

Semua itu merupakan bagian dari krisis ekologi dewasa ini yang mengancam kelangsungan hidup bumi. Kiamat memang sudah dialami manusia setiap hari ketika aneka bencana alam oleh ulah sikap manusia. Bumi semakin dipercepat penuaannya oleh sikap manusia yang merendahkan alam.

Oleh karena itu, tidak ada sikap lain yang perlu dibangun oleh segenap umat manusia untuk menyelamatkan bumi dan segala isinya selain membangun sikap dan gaya hidup yang ketiga di atas, meskipun telat dan tidak bisa mengembalikan alam seperti sedia kala ketika ia tercipta/terjadi/terbentuk. Dengan membangun sikap berdialog serta menjadikan alam sebagai bagian dari keluarga umat manusia, maka manusia akan lebih bijaksana memanfaatkan alam.