SOE HOK GIE


"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia- manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami NAIK GUNUNG"

Soe Hok Gie
    Kalimat yang yang terlontar di saat teman teman menanyakan Soe Hok Gie mengadakan misi pendakian ke Gunung Semeru yang berketinggian 3.676 dpal pada tanggal 16 Desember 1969 bersama Mapala UI.
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942 berdarah keturunan China.
Di usia 27 tahun Gie banyak berdokumentasi di misinya dalam hidup, ia telah menjadi inspirasi bagi beberapa kalangan pemuda pemudi Indonesia terutama para petualang dan pendaki dan yang peduli dengan keadaan bangsa. Gie dengan semangatnya patut menjadi pemicu semangat para pejuang muda pada saat ini.

Pada Tanggal 8 Desember 1969 Soe Hok Gie menulis catatan sebelum berangkat dalam misi pendakian ke Gunung Semeru, seperti ungkapan yang lahir dari lubuk hatinya yang terdalam :


“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

   Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), dan beberapa catatan hasil dari berbagai sumber yang mengisahkan Gie meninggal dunia di Gunung Semeru yang salah satunya karena menghirup asap beracun di gunung tersebut. Gie meninggal bersama rekannya Idhan Dhanvantari Lubis di pagi hari tangal 17 Desember 1969 :

" Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di gunung Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.


“Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.”

Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali. 

 
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.


“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih."

Soe Hok Gie adalah seorang aktivis mahasiswa yang berkarakter pribadi yang istimewa, pemikirannya yang visioner dan militansinya yang luas. Komitmen Gie yang kukuh dengan prinsip-prinsip demokrasi dan sosialidaritas yang tinggi. Soe Hok Gie (1942 – 1969) merupakan aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. 
Soe Hok Gie, pemuda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).